KEPASTIAN HUKUM PEMBERIAN NAFKAH ANAK DAN MANTAN ISTRI OLEH MANTAN SUAMI AKIBAT PUTUSAN CERAI PENGADILAN AGAMA MELALUI MEKANISME INTEGRASI DATA KEPENDUDUKAN
Oleh Lisa Nadya Afifah, S.H.
( CALON HAKIM TERPADU ANGKATAN IV GELOMBANG 3)
A.PENDAHULUAN
Undang-undang perkawinan mengatur bahwa ikatan perkawinan melahirkan hak dan kewajiban di antara suami ataupun isteri. Suami memiliki hak dan kewajiban atas isterinya, begitupula pula isteri memiliki hak dan kewajiban atas suami. Suami sebagai pemimpin keluarga dan isteri yang bertanggung jawab atas rumah tangga. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (3) tentang Perkawinan yang menyatakan, Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah kepala rumah tangga. Karena kedudukannya sebagai seorang kepala keluarga itulah maka kewajiban suami yang sekaligus hak dari seorang isteri adalah pemberian nafkah, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
- Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
- Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
- Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Banyak perkawinan yang tidak dapat mencapai tujuan ini secara menyeluruh dan utuh. Kegagalan tersebut bisa dilihat dari peristiwa-peristiwa yang sering terjadi yaitu, suami atau isteri lalai dalam melaksanakan kewajiban keduanya, hal tersebut menimbulkan pertengkaran dan ketidakharmonisan dalam keluarga rumah tangga. Demikian pula hak dan kewajiban yang tidak berjalan seimbang seringkali menyebabkan terjadinya pertengkaran yang terus menerus dan pada akhirnya berujung pada putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan tidak serta merta menghilangkan kewajiban-kewajiban seorang laki-laki terhadap mantan isteri serta anak yang lahir dalam perkawinan. Isteri berhak memperoleh mut’ah dan nafkah iddah dari mantan suaminya ketika perceraian tersebut atas kehendak suaminya. Isteri juga berhak mendapatkan nafkah mâdliyah apabila suami tidak memberikan nafkah yang layak selama dalam ikatan perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 41 huruf (c) mengatur pengadilan dapat membebankan kewajibkan pada mantan suami agar memenuhi biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan suami kepada mantan isterinya. Makna dari pasal ini adalah kewajiban bagi para suami untuk tetap memberikan nafkah-nafkah tersebut kepada mantan isterinya. Pengadilan dapat mencantumkan dalam putusan kewajiban mantan suami untuk memenuhi nafkah tersebut apabila mantan isteri mengajukan gugatan rekonvensi. Namun, pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sering kali menghadapi kendala di lapangan sehingga mengakibatkan putusan bersifat ilusoir. Pada putusan cerai di pengadilan agama, kendati telah mencantumkan diktum kewajiban bagi mantan suami atau bapak dari sang anak untuk memenuhi kewajiban nafkah mantan istri dan anak, pada prakteknya banyak ditemukan mantan suami yang lalai dan tidak patuh dalam pemenuhan kewajiban nafkah. Hal ini berarti putusan tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan bagi mantan istri dan anak.
Selengkapnya KLIK DISINI